Di Antara Asa dan Realita: Refleksi Pinnur Selalau atas Mundurnya 160 Guru Sekolah Rakyat
Globalpewartasakti.com | Bandar Lampung(GPS).
Kabar tentang pengunduran diri massal 160 guru Sekolah Rakyat karena alasan penempatan yang terlalu jauh dari domisili mereka menyita perhatian banyak pihak. Di tengah upaya pemerintah menghadirkan pendidikan yang merata dan berkualitas, fenomena ini justru menjadi penanda adanya celah yang belum tersentuh oleh kebijakan.
Salah satu yang menyoroti dan angkat bicara adalah, Pinnur Selalau, Seorang pemerhati pendidikan dan Pemred media RadarCyberNusantara.Id. yang selalu kritis dalam isu pemerataan pendidikan dan kesejahtraan guru, Sabtu (26/07/2025).
“Ini bukan sekadar soal jarak,” kata Pinnur Selalau, membuka refleksinya. “Ini tentang keadilan dalam penugasan, tentang bagaimana guru diperlakukan dalam sistem yang seharusnya mengakui mereka sebagai ujung tombak pendidikan.
Menurutnya, mundurnya para guru bukanlah bentuk pembangkangan atau kemalasan, melainkan respons rasional terhadap sistem yang belum cukup berpihak pada kebutuhan riil mereka. Banyak dari guru tersebut ditugaskan di lokasi yang sangat jauh dari tempat tinggalnya bahkan ada yang harus menempuh perjalanan lebih dari delapan jam hanya untuk mencapai sekolah. Kita tidak bisa berharap guru memberi yang terbaik jika mereka sendiri harus berjuang melampaui batas wajar untuk sekadar hadir, tegas Pinnur.
Dalam pandangan Pinnur Selalau, sistem penempatan guru di Indonesia masih terlalu birokratis dan kurang manusiawi. Ia menyayangkan bagaimana penugasan sering kali hanya berdasarkan kebutuhan angka semata, tanpa mempertimbangkan kondisi sosial dan geografis guru yang bersangkutan. Kita bicara tentang guru manusia yang punya keluarga, punya batas fisik, punya tanggung jawab lain di luar kelas. Tapi dalam praktiknya, mereka diperlakukan seperti angka statistik, tambahnya.
Ia juga menyoroti belum optimalnya dukungan negara dalam menyiapkan guru menghadapi penempatan di wilayah terpencil. Seharusnya, kata Pinnur Selalau, ada insentif memadai, pelatihan khusus, dan sistem pendampingan yang nyata. “Kita tak bisa berharap mereka bertahan jika biaya hidup tinggi, transportasi sulit, dan tidak ada dukungan psikologis. Pendidikan adalah soal komitmen bersama, bukan pengorbanan sepihak.
Namun di balik kritik itu, Pinnur Selalau, juga menyampaikan solusi. Ia mendorong adanya pendekatan baru dalam sistem distribusi guru, yaitu model penempatan berbasis data preferensi dan ketersediaan. Artinya, penugasan tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan daerah, tetapi juga keinginan dan kemampuan guru yang direkrut. Kita bisa buat sistem zonasi penempatan yang lebih fleksibel. Guru dari Lampung misalnya, kalau memang ingin mengabdi di daerah asalnya, harus difasilitasi. Yang siap keluar pulau, harus diberi insentif dan jaminan kenyamanan.
Ia juga menyarankan agar proses rekrutmen guru, terutama yang disalurkan melalui program sosial seperti Sekolah Rakyat, melibatkan uji kesediaan dan kesiapan sejak awal. Kita sering lupa bertanya: Apakah mereka benar benar siap ditempatkan jauh? Jangan hanya rekrut, lalu lempar ke tempat yang bahkan belum mereka kenal. Ini bukan program magang, ini komitmen jangka panjang, katanya.
Lebih jauh, Pinnur Selalau, mengingatkan bahwa akar dari semua ini adalah kurangnya keseriusan dalam merancang kebijakan pendidikan yang holistik. Kita masih terlalu sempit memandang pendidikan sebagai soal bangunan dan kurikulum. Padahal, yang paling penting adalah manusianya. Guru adalah jantung sistem pendidikan. Kalau mereka tak diberdayakan, bagaimana kita bisa bicara soal kualitas?
Menurutnya, ke depan pemerintah perlu membangun sistem pembinaan karier guru yang berkelanjutan. Guru yang bersedia mengabdi di daerah 3T harus diprioritaskan dalam promosi, sertifikasi, bahkan kenaikan pangkat. “Pengabdian harus dibalas dengan pengakuan,” katanya singkat.
Pinnur Selalau, menyampaikan harapan agar kejadian seperti ini tidak lagi terulang. Ia menekankan bahwa keadilan dalam sistem pendidikan tidak hanya berlaku bagi siswa, tapi juga bagi guru. Kalau kita ingin masa depan pendidikan yang lebih baik, maka kita harus mulai dengan memperlakukan guru dengan lebih manusiawi. Karena dari merekalah, masa depan itu dibentuk.
Inilah potret jujur dari seorang pemerhati pendidikan yang tak lelah mengingatkan: bahwa pendidikan yang adil tak bisa dibangun di atas pengorbanan guru yang kelelahan dan tak dihargai. Fenomena 160 guru yang mundur bukan soal lemahnya komitmen mereka melainkan cermin dari sistem yang harus dibenahi. (Red GPS)