Praktik Uang “Tip” Dalam Jual Beli Tanah: Kebiasaan Lama yang Harus Diakhiri
Oleh: Nazir Gps
Globalpewartasakti.com | Opini(GPS).
Di balik proses jual beli tanah yang seharusnya menjadi urusan administrasi biasa, tersembunyi satu kebiasaan yang sudah mengakar di banyak desa: pungutan liar berkedok “uang tip” atau “uang tanda tangan” untuk kepala pekon.
Praktik ini sering terjadi saat warga mengurus surat keterangan jual beli atau minta pengesahan. Di titik itulah muncul kalimat yang sudah sangat dikenal:
“Ini untuk kepala pekon, sebagai ucapan terima kasih.”
Padahal, yang terjadi bukan ucapan terima kasih suka rela, tapi tekanan sosial terselubung. Tak sedikit warga yang merasa harus memberi, karena takut proses administrasi dipersulit jika tidak “menyetor”.
Apakah ini benar?
Tidak.
Apakah ini wajar?
Jelas tidak.
Yang lebih mengkhawatirkan, tidak sedikit yang mematok persentase dari nilai jual tanah — 3%, 5%, bahkan lebih. Jika nilai transaksi ratusan juta, bayangkan berapa besar “uang syukur” yang masuk ke kantong pribadi, tanpa bukti, tanpa pajak, tanpa dasar hukum.
Ini Bukan Budaya, Ini Penyimpangan
Mari kita luruskan: melayani urusan administrasi warga adalah tugas kepala pekon, bukan ladang bisnis pribadi. Tidak ada satu pun pasal dalam undang-undang yang mengatur bahwa pejabat desa berhak atas “persenan” dari transaksi tanah warga.
Justru sebaliknya:
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara tegas melarang pejabat menyalahgunakan wewenang.
UU Tipikor (UU No. 20 Tahun 2001) menyebut bahwa gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan bisa dikategorikan sebagai suap.
PP No. 96 Tahun 2021 dan aturan agraria lainnya tidak memberikan celah untuk pungutan liar oleh aparat desa dalam urusan pertanahan.
Kritikan Ini Bukan Tuduhan, Tapi Seruan Perubahan
Opini ini bukan untuk menyerang satu atau dua pekon tertentu. Ini adalah kritik sistemik terhadap budaya yang sudah lama dibiarkan tumbuh. Mungkin dulu dianggap sepele, tapi sekarang sudah waktunya kita evaluasi ulang.
Kepala pekon perlu berbenah. Masyarakat perlu berani bersuara.
Pemerintah desa harus mulai terbuka: kalau memang ada biaya administrasi, jelaskan secara tertulis dan transparan. Cantumkan dalam Peraturan Desa (Perdes) atau APBDesa. Jangan biarkan “uang di bawah meja” merusak integritas pejabat desa di mata rakyatnya sendiri.
Dan kepada masyarakat: jangan ragu menolak pungutan yang tidak berdasar. Anda tidak salah bila menanyakan:
“Pak, ini dasarnya apa ya? Ada kuitansinya?”
Menuju Desa yang Bersih dan Bermartabat
Desa adalah ujung tombak pelayanan publik. Justru di sanalah etika harus dijaga ketat. Jangan jadikan kekuasaan kecil di tingkat pekon sebagai ladang mengeruk keuntungan dari warga kecil.
Membangun desa tidak cukup dengan infrastruktur. Lebih dari itu, harus dimulai dari mentalitas pelayanan yang bersih dan ikhlas.
Sudah saatnya kita akhiri praktik-praktik lama yang tidak sehat. Karena desa yang kuat, lahir dari aparat yang jujur — dan rakyat yang berani bersuara.
Editor : Redaksi GPS