Globalpewartasakti.com | NASIONAL (GPS) – Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira menyoroti vonis bebas terhadap oknum polisi dalam kasus pencabulan anak di Kabupaten Keerom, Papua. Ia menilai putusan pengadilan dalam kasus ini mencederai penegakan hukum serta perlindungan hak anak di Indonesia.
“Kasus ini mencerminkan bahwa aparat penegak hukum masih belum serius menangani kejahatan seksual terhadap anak, meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Andreas dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, Jumat (21/3/2025).
Seperti diketahui, berbagai kalangan mengecam keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura yang membebaskan oknum anggota kepolisian berinisial AFH (20) dari dakwaan pencabulan terhadap seorang anak berusia lima tahun di Keerom, Papua.
AFH didakwa melakukan pencabulan sejak 2022 dan sebelumnya dituntut 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan UU Perlindungan Anak. Peristiwa tersebut terjadi saat AFH berkunjung ke rumah korban dan memanfaatkan situasi ketika kakak korban meninggalkan mereka untuk membeli mi instan di kios terdekat.
Menanggapi vonis tersebut, keluarga korban bersama kuasa hukum menyatakan keberatan dan berencana mengajukan kasasi. Andreas menyatakan dukungannya terhadap langkah tersebut.
“Keputusan pihak keluarga ini menunjukkan adanya dugaan ketidakwajaran dalam proses peradilan. Putusan ini mencederai rasa keadilan dan tidak berpihak pada hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak,” ungkapnya.
Menurut Andreas, pengadilan seharusnya mempertimbangkan status terdakwa sebagai anggota kepolisian yang memiliki kewajiban melindungi masyarakat. Dengan putusan bebas terhadap pelaku kekerasan seksual, pengadilan dinilai tidak mendukung perlindungan anak sebagai kelompok rentan.
“Di saat terdakwa telah mencoreng citra institusi kepolisian karena perilakunya, pengadilan justru tidak berpihak kepada korban melalui putusan yang tidak mencerminkan keadilan,” tegas Andreas.
Sebagai pimpinan Komisi III DPR yang membidangi hukum dan hak asasi manusia (HAM), Andreas menekankan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap proses peradilan guna memastikan putusan hakim didasarkan pada fakta dan prinsip keadilan, bukan intervensi atau faktor lain yang tidak semestinya.
“Putusan hakim dalam kasus ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Tentunya ini harus menjadi perhatian kita bersama untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas,” ujar legislator dapil NTT I itu.
Andreas juga menegaskan pentingnya sistem peradilan yang memprioritaskan perlindungan hak korban, khususnya anak-anak. Ia mengingatkan bahwa UU Perlindungan Anak dan UU TPKS telah mengatur ancaman hukuman berat bagi pelaku kekerasan seksual sebagai bentuk perlindungan dan efek jera.
“Kami juga berharap Komnas HAM ikut mengawal kasus ini untuk memastikan hak-hak korban benar-benar terpenuhi,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Andreas menyebut bahwa Indonesia memiliki berbagai regulasi yang menjamin hak anak, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
“Dalam UU ini ditegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Hak anak adalah hak asasi manusia yang harus diakui dan dilindungi oleh hukum,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa UU TPKS memberikan berbagai jaminan bagi korban kekerasan seksual, mulai dari hak pendampingan, restitusi, pemulihan psikologis, hingga akses terhadap layanan hukum dan kesehatan.
“Negara harus memastikan semua hak ini terpenuhi, termasuk dalam proses hukum yang berjalan. Selain menegakkan keadilan, pemenuhan hak-hak korban juga harus menjadi prioritas dalam mengusut kasus kekerasan seksual,” tegasnya.
Andreas pun meminta JPU untuk bekerja lebih optimal dalam proses kasasi guna memastikan keadilan bagi korban. Ia menilai langkah ini penting sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memenuhi hak-hak korban.
“Kasus ini harus menjadi refleksi bagi semua pihak untuk terus memperjuangkan keadilan dan perlindungan bagi anak-anak serta memastikan sistem peradilan berjalan sesuai prinsip keadilan, transparansi, dan penghormatan terhadap HAM,” tutupnya.(*)
Sumber : PARLEMENTARIA