Negara Kaya Sumber Daya, Namun Mayoritas Rakyatnya Hidup Miskin : Salahnya Dimana..?

Negara Kaya Sumber Daya, Namun Mayoritas Rakyatnya Hidup Miskin : Salahnya Dimana..?

Penulis; Pinnur Selalau. (Pemred Media RadarCyberNusantara.Id)

Globalpewartasakti.com | Opini(GPS).
Sudah Lebih dari 25 tahun saya tinggal di Kota Bandar Lampung dan merasakan hiruk pikuknya kota ini. Pernah ada satu hari di tahun 2025 ini, saya berbincang-bincang dengan seorang Akademisi yang membahas bahwa hanya dari sektor pertambangan bisa menghidupi semua warga Indonesia, bahkan per kepala dapat 20 juta rupiah tanpa bekerja. Namun faktanya, masih banyak orang-orang kita kelaparan di luar sana karena kemiskinan. Tidak hanya kelaparan, bahkan menjadi tunawisma yang entah mereka tidur dimana.

Adapun orang-orang yang berjualan dihajar panas terik dan hujan lebat tapi dagangannya tidak laku sehingga terpaksa mereka menahan lapar demi bisa membelikan nasi untuk keluarga di rumah. Sungguh ironi yang menusuk akal sehat, negara yang dilimpahi kekayaan sumber daya alam tapi menjadi rumah bagi banyak masyarakat yang hidup terjerat kemiskinan.

Bagaimana mungkin, bahan tambang seperti emas, minyak, hutan, dan hasil bumi lainnya yang bernilai triliunan rupiah gagal meneteskan kesejahteraan bagi rakyatnya sendiri? Hal ini bukanlah kebetulan semata, tapi karena adanya kesenjangan distribusi kekayaan alam kita ini yang menganga lebar. Dimana para elit dan investor asing sedang menikmati kue pembangunan, sementara mayoritas rakyat hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri. Banyak laporan dari lembaga internasional seperti Oxfam atau World Bank sering menyoroti bagaimana ketimpangan ini makin melebar.

Yang lebih parah, praktik korupsi yang tidak pernah habis menjadi faktor krusial yang melanggengkan ketidakadilan ini. Indeks Persepsi Korupsi — ACLC KPK secara konsisten menunjukkan bahwa banyak negara kaya sumber daya memiliki skor rendah, mengindikasikan bahwa pendapatan dari sektor ini rawan diselewengkan dan tidak sampai ke kas negara untuk kepentingan publik. Pada CPI 2023, Indonesia memperoleh skor 34/100 dan menempati peringkat 115 dari 180 negara. Skor ini stagnan dibanding tahun sebelumnya, mencerminkan tantangan serius dalam pemberantasan korupsi dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Kondisi ini diperburuk oleh struktur ekonomi yang rapuh karena ketergantungan pada ekspor bahan mentah, yaitu fenomena yang sering disebut Dutsch Disease. Bertahun-tahun berlalu dan ekspor bahan mentah selalu menjadi favorite, entah karena tidak bisa mengolah atau karena ancaman pihak importir agar dijual mentah, kita tidak tahu. Ketergantungan ini membuat perekonomian rentan terhadap Volatilitas (ukuran seberapa banyak harga suatu aset keuangan) harga komoditas global dan menghambat diverifikasi ke sektor-sektor dengan nilali tambah lebih tinggi.

Lambat laun, akumulasi dari berbagai persoalan struktural dan tata kelola ini pada akhirnya berdampak pada sosial dan ekonomi yang lebih lanjut dan merugikan, mulai dari terbatasnya akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, meningkatnya konfllik sosial, bahkan kerusakan lingkungan yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat miskin.

Namanya solusi tidak pasti 100% berhasil, namun setidaknya dapat mengurangi dampak negatif. Solusi pertama yang mendasar adalah mengobarkan kesadaran melalui edukasi, namun bukan sekadar melek huruf bagi yang belum bisa baca tulis, tapi literasi kritis terkait sumber daya alam SDA di negara kita ini. Program ini harus menjadi obor yang bisa sekaligus menjadi senjata dengan pemahaman mendalam untuk mempertanyakan dan mengkritisi kontrak-kontrak tambang dan HGU Lahan Rakyat atau Negara yang rumit dan hak hak rakyat yang seringkali terabaikan bahkan terinjak.

Masyarakat kita ini harus didorong untuk berani bertanya “kemana perginya triliunan rupiah dari emaas, nikel, atau batubara di tanah kami?” atau “Mengapa hutan/lahan kami semakin menipis sementara kami tetap terperangkap dalam lingkaran kemiskinan?” Literasi seperti inilah yang akan menjadi pondasi masyarakat untuk tidak lagi menjadi objek, melainkan subjek aktif yang menuntut haknya atas kekayaan alam di tanah mereka.

Langkah selanjutnya adalah pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal serta penguatan badan usaha milik desa (BUMDES) apalagi sekarang ada program Presiden Prabowo Subianto tentang Koperasi Merah Putih (KMP) Desa dan Kelurahan sebagai strategi membangun kedaulatan ekonomi dari bawah. Ini bukan sekadar program peningkatan pendapatan per kapita secara parsial, melainkan upaya strategis merebut ruang ekonomi yang selama ini didominasi oleh korporasi skala besar yang cenderung mengeruk sumber daya alam tanpa memberikan manfaat sepadan bagi masyarakat lokal. Bayangkan jika setiap desa di lingkar industri ekstraktif memiliki BUMDes dan Koperasi yang mampu menjadi pemasok utama kebutuhan perusahaan dengan posisi tawar yang kuat, atau UMKM yang inovatif dalam mengolah hasil hutan non-kayu atau SDA lainnya secara berkelanjutan.

Menurut saya, yang dibutuhkan masyarakat adalah program pelatihan kepemimpinan yang fokus melahirkan kalangan muda lokal yang berani dan memiliki kapasitas untuk mendobrak status quo (keadaan saat ini) yang merugikan. Pemuda adalah ‘percikan api’ yang bisa menyulut gerakan perubahan yang lebih besar jika dibekali dengan benar. Mereka harus dilatih untuk berani duduk di meja perundingan, menyuarakan aspirasi komunitasnya, dan memanfaatkan berbagai platform digital untuk meneriakan ketidakadilan serta menggalang dukungan publik yang lebih luas.

Era di mana informasi vital terkait kontrak karya, izin usaha pertambangan (IUP), rincian dana bagi hasil (DBH), hingga laporan pertanggungjawaban dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan menjadi ‘dokumen rahasia negara’ harus segera diakhiri. Masyarakat berhak tahu! Harus ada desakan publik yang kuat dan terorganisir melalui gerakan “Buka-Bukaan!” yang menuntut pemerintah dan korporasi untuk mempublikasikan secara detail, mudah diakses, dan mudah dipahami semua kontrak serta aliran dana yang berasal dari eksploitasi SDA. Ini bukan permintaan, ini adalah tuntutan! Kita butuh platform digital independen yang bisa menjadi pengawas bak mata elang untuk mengawasi setiap rupiah yang dihasilkan dari bumi pertiwi ini.

Edukasi hukum praktis mengenai hak atas tanah ulayat, hak atas lingkungan hidup yang sehat, serta mekanisme gugatan hukum kolektif (class action) harus menjadi ‘senjata’ di tangan rakyat. Saya percaya, ketika masyarakat, didampingi oleh para pembela hukum yang berintegritas, menyadari kekuatan hukum yang mereka miliki jika bersatu, ini akan menjadi alat yang sangat efektif.

Bandar Lampung : 21 Juni 2025.
Editor : Eddie Rambo GPS

Exit mobile version