Gaya Arogansi Komunikasi Pejabat Publik: Tanda Kemunduran Demokrasi dan Hilangnya Kepercayaan Masyarakat

Gaya Arogansi Komunikasi Pejabat Publik: Tanda Kemunduran Demokrasi dan Hilangnya Kepercayaan Masyarakat

Globalpewartasakti.com |Bandar Lampung(GPS).
Dalam sebuah negara demokrasi, komunikasi publik yang baik menjadi fondasi utama dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sayangnya, di Indonesia, kita semakin sering melihat bagaimana pejabat publik merespons kritik dengan cara yang arogan, merendahkan, dan bahkan menjauh dari nilai-nilai demokrasi.

Beberapa waktu terakhir, komunikasi yang buruk dari pejabat Pemerintah, baik Daerah maupun Pusat bukan hanya mencerminkan kurangnya kedewasaan dalam berdialog, tetapi juga menunjukkan sikap antikritik yang berbahaya bagi kesehatan demokrasi kita.

Dampak Buruk Arogansi Pejabat Pemerintah terhadap Demokrasi:

Respons pejabat yang merendahkan kritik memiliki konsekuensi serius terhadap stabilitas politik dan sosial, menurut saya ada tiga dampak utama dari komunikasi publik yang buruk ini:

1. Merosotnya Kepercayaan Publik
Ketika pejabat meremehkan suara rakyat, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Akibatnya, kebijakan yang dibuat pun semakin sulit diterima oleh publik, karena mereka merasa aspirasi mereka tidak pernah diperhitungkan.

2. Meningkatnya Polarisasi dan Ketegangan Sosial. Komunikasi yang buruk dari pejabat dapat memperdalam jurang perbedaan pendapat di masyarakat. Mereka yang merasa suaranya tidak didengar akan semakin frustrasi, dan ini bisa memicu ketegangan sosial yang lebih besar.

3. Kemunduran Demokrasi dan Menguatnya Otoritarianisme. Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang bagi kritik dan diskusi terbuka. Ketika pejabat terbiasa merespons kritik dengan sikap merendahkan, ini bisa menjadi tanda awal kemunduran demokrasi dan mengarah pada sistem pemerintahan yang semakin otoriter.

Perlunya Evaluasi Komunikasi Pejabat Publik untuk Demokrasi yang Lebih Sehat.

Untuk mencegah semakin memburuknya situasi ini, menurut saya ada beberapa langkah yang harus segera diambil:

1. Pejabat Publik Harus Mengedepankan Etika Komunikasi. Kritik adalah bagian dari demokrasi. Pejabat seharusnya belajar merespons kritik dengan bijak dan profesional, bukan dengan emosi atau sikap meremehkan.

2. Pemerintah Harus Lebih Transparan dan Akuntabel. Jika kritik terus bermunculan, itu artinya ada masalah yang harus diperbaiki. Pemerintah harus terbuka dalam menjelaskan kebijakan dan mendengarkan suara rakyat.

3. Media dan Masyarakat Harus Terus Kritis
Media massa dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawasi komunikasi pejabat publik. Jangan biarkan sikap arogan ini menjadi budaya yang normal. Kritik yang membangun harus terus disuarakan.

Saatnya Pejabat Publik Berbenah.

Indonesia adalah negara demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi dialog terbuka antara pemerintah dan rakyat. Ketika pejabat mulai kehilangan kepekaan dalam berkomunikasi, itu adalah tanda bahaya bagi masa depan demokrasi kita.

Dan pejabat yang saya maksud disini bukan hanya pejabat tinggi, namun mulai dari Kepala Desa/Lurah, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur, Kepala-kepala OPD, Menteri,hingga Presiden.

Masyarakat berhak mendapatkan pemimpin yang bisa berkomunikasi dengan bijak, bukan yang merendahkan mereka. Sudah saatnya pejabat publik berbenah dan mulai memahami bahwa kritik bukanlah ancaman, melainkan masukan berharga untuk membangun negara/Daerah yang lebih baik.

Oleh : Pinnur Selalau
(Pimred RadarCyberNusantara.Id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *