Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Dinamika dan Sorotan.
Globalpewartasakti.com | Bandar Lampung(GPS).
Program Makan Bergizi Gratis atau MBG, yang menjadi salah satu prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kini menjadi sorotan publik. Sayang, ada sederet masalah yang mengiringi pelaksanaannya. Sebagai warga yang peduli terhadap masa depan anak-anak Indonesia, saya merasa perlu menyuarakan keprihatinan ini.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden Republik Indonesia kini tengah menghadapi sejumlah polemik yang semakin mempersulit pelaksanaannya. Isu utama terkait program ini mencakup keterlambatan pembayaran kepada penyedia jasa makanan serta insiden keracunan yang terjadi di berbagai daerah, yang menyebabkan beberapa siswa jatuh sakit. Isu-isu ini mengancam keberhasilan program yang seharusnya menjadi bagian dari prioritas nasional untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak diluncurkan 6 Januari lalu, pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih diwarnai sederet persoalan di lapangan. Pinnur Selalau mencatat, program unggulan Presiden Prabowo Subianto ini terus berkutat dengan masalah keamanan pangan dan kualitas kandungan gizi dalam menu yang disediakan.
“Salah satu isu yang cukup mengundang perhatian publik adalah serangkaian kasus keracunan yang menimpa beberapa siswa setelah mengonsumsi menu dari program MBG di sejumlah daerah,” ujar Pinnur Selalau, Kabid Pengawasan DPD PWRI Lampung, yang juga Pemred Media RadarCyberNusantara.Id, Senin (15/09/2025).
Menurut Pinnur Selalau, masih terjadinya kasus keracunan makanan dalam pelaksanaan MBG memunculkan kekhawatiran akan keamanan pangan yang disalurkan melalui program ini.
Analisis Pinnur Selalau, mengidentifikasi bahwa salah satu penyebab utama terjadinya keracunan adalah belum optimalnya implementasi standar keamanan pangan dalam pelaksanaan program MBG. Sistem manajemen risiko yang mengatur keamanan pangan di setiap fase, mulai dari proses produksi hingga distribusi makanan.
“Penerapan standar keamanan pangan yang belum optimal, ditambah dengan kekurangan pengaturan keamanan pangan dalam petunjuk teknis, menjadi catatan penting yang harus segera ditangani oleh Badan Gizi Nasional (BGN) untuk memastikan kualitas pangan yang lebih baik,” ucap Pinnur Selalau.
Pinnur, memandang serangkaian tata kelola MBG, termasuk kerangka regulasi dan petunjuk teknis, perlu lebih dirinci dan disosialisasikan agar implementasi program di lapangan dapat berjalan lebih lancar.
“Misalnya, dari aspek ketersediaan regulasi dan petunjuk teknis, temuan kami menunjukkan bahwa akses terhadap dokumen-dokumen ini masih sangat terbatas. Sementara itu, ketersedian regulasi dan juknis sangat diperlukan bagi (Instansi/Lembaga) lain, pemerintah daerah, dan mitra strategis lainnya untuk terlibat dalam program ini,” ungkap Pinnur Selalau.
Berdasarkan penelusuran, regulasi MBG yang saat ini tersedia adalah Surat Keputusan Deputi Bidang Penyaluran Badan Gizi Nasional (BGN) Nomor 2 Tahun 2024 mengenai petunjuk teknis (juknis) operasional MBG.
“Juknis tersebut belum mengatur secara detail operasional MBG seperti standar kebersihan, keamanan pangan, pengumpulan bahan, pengemasan, suplai, hingga penyaluran makanan,” tutur Pinnur.
Pemerintah perlu membenahi kerangka regulasi serta tugas pokok fungsi dan koordinasi lintas sektor untuk program MBG. Selain itu, Badan Gizi Nasional perlu menyusun petunjuk teknis yang komprehensif dan terstandar, yang juga harus dipenuhi oleh pemerintah daerah dan mitra pelaksana.
Pinnur juga mengatakan program MBG tidak dapat berjalan sendirian untuk meraih hasil yang optimal. Sebab itu, program MBG harus diperkuat dengan berbagai intervensi yang sudah berjalan, baik dari program penurunan stunting maupun program kesehatan lainnya.
“Infrastruktur yang sudah tersedia dapat dioptimalkan dan peran Dinkes dalam program MBG perlu lebih ditingkatkan,” kata Pinnur.
Selain itu, Pinnur Selalau juga menyoroti penggunaan produk makanan ultra-olahan (ultra-processed food) dalam menu MBG. Temuan ini termasuk penggunaan susu kemasan berperisa yang mengandung kadar gula tinggi, yang jelas tidak sesuai dengan pedoman standar gizi yang telah disusun Kementerian Kesehatan.
“Keberadaan produk-produk tersebut dalam menu MBG berpotensi merugikan kesehatan jangka panjang, terutama bagi anak-anak dan kelompok rentan lainnya yang menjadi sasaran utama program ini,” Pinnur berujar.
Pinnur, menambahkan, masuknya produk makanan ultra-olahan dalam menu MBG bertentangan dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Pasal 200 PP Kesehatan memberikan tanggung jawab kepada pemerintah pusat untuk menyusun strategi pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak, termasuk mengatur ambang batas kandungannya serta mengendalikan iklan, promosi, dan sponsor dari produk-produk tersebut.
Belum terlambat untuk memperbaiki berbagai masalah yang telah teridentifikasi, antara lain melalui pembenahan tata kelola program, termasuk penyempurnaan tugas pokok dan fungsi serta koordinasi antar instansi dan lembaga terkait. Pemerintah juga perlu menyempurnakan landasan regulasi MBG, serta memperkuat standardisasi keamanan pangan dan gizi dalam menu MBG.(TIM)